LAPORAN
PENDAHULUAN
FRAKTUR
RADIUS DISTAL
A.
DEFINISI
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan
ditentukan sesuai jenis dan luasnya. (Brunner & Suddarth, Buku Ajar Medikal
Bedah, 2002, hal. 2357). Fraktur adalah patah tulang biasanya disebabkan oleh
trauma atau tenaga fisik (Sylvia A., Patofisiologi, 1995). Fraktur radius adalah fraktur yang terjadi
pada tulang radius akibat jatuh dan tangan menyangga dengan siku ekstensi.
(Brunner & Suddarth, Buku Ajar Medikal Bedah, 2002, hal. 2372).
B.
ETIOLOGI
Fraktur
radius distal adalah salah satu dari macam fraktur
yang biasa terjadi pada pergelangan tangan. Umumnya terjadi karena jatuh dalam
keadaan tangan menumpu dan biasanya terjadi pada anak-anak dan lanjut usia.
Bila seseorang jatuh dengan tangan yang menjulur, tangan akan tiba-tiba menjadi
kaku, dan kemudian menyebabkan tangan memutar dan menekan lengan bawah. Jenis
luka yang terjadi akibat keadaan ini tergantung usia penderita. Pada anak-anak
dan lanjut usia, akan menyebabkan fraktur tulang radius. Fraktur radius distal
merupakan 15 % dari seluruh kejadian fraktur pada dewasa. Abraham Colles adalah
orang yang pertama kali mendeskripsikan fraktur radius distalis pada tahun 1814
dan sekarang dikenal dengan nama fraktur Colles. (Armis, 2000). Ini adalah
fraktur yang paling sering ditemukan pada manula, insidensinya yang tinggi
berhubungan dengan permulaan osteoporosis pasca menopause. Karena itu pasien
biasanya wanita yang memiliki riwayat jatuh pada tangan yang terentang. (Apley
& Solomon, 1995) Biasanya penderita jatuh terpeleset sedang tangan berusaha
menahan badan dalam posisi terbuka dan pronasi. Gaya akan diteruskan ke daerah
metafisis radius distal yang akan menyebabkan patah radius 1/3 distal di mana
garis patah berjarak 2 cm dari permukaan persendian pergelangan tangan. Fragmen
bagian distal radius terjadi dislokasi ke arah dorsal, radial dan supinasi.
Gerakan ke arah radial sering menyebabkan fraktur avulsi dari prosesus styloideus
ulna, sedangkan dislokasi bagian distal ke dorsal dan gerakan ke arah radial
menyebabkan subluksasi sendi radioulnar distal (Reksoprodjo, 1995) Momok cedera
tungkai atas adalah kekakuan, terutama bahu tetapi kadang-kadang siku atau
tangan. Dua hal yang harus terus menerus diingat :
a. pada
pasien manula, terbaik untuk tidak mempedulikan fraktur tetapi berkonsentrasi
pada pengembalian gerakan
b. apapun
jenis cedera itu, dan bagaimanapun cara terapinya, jari harus mendapatkan
latihan sejak awal. (Apley & Solomon, 1995)
Penyebab paling umum fraktur adalah :
a. Benturan/trauma
langsung pada tulang antara lain : kecelakaan lalu lintas/jatuh.
b. Kelemahan/kerapuhan
struktur tulang akibat gangguan penyakti seperti osteoporosis, kanker tulang
yang bermetastase.
C.
PATOFISIOLOGI
DAN PATWAY
Trauma yang menyebabkan fraktur di
daerah pergelangan tangan biasanya merupakan trauma langsung, yaitu jatuh pada
permukaan tangan sebelah volar atau dorsal. Jatuh pada permukaan tangan sebelah
volar menyebabkan dislokasi fragmen fraktur sebelah distal ke arah dorsal.
Dislokasi ini menyebabkan bentuk lengan bawah dan tangan bila dilihat dari
samping menyerupai garpu. (Sjamsuhidayat & de Jong, 1998) Benturan mengena
di sepanjang lengan bawah dengan posisi pergelangan tangan berekstensi. Tulang
mengalami fraktur pada sambungan kortikokanselosa dan fragmen distal remuk ke
dalam ekstensi dan pergeseran dorsal. (Apley & Solomon, 1995) Garis fraktur
berada kira-kira 3 cm proksimal prosesus styloideus radii. Posisi fragmen
distal miring ke dorsal, overlapping dan bergeser ke radial, sehingga secara
klasik digambarkan seperti garpu terbalik (dinner fork deformity). (Armis,
2000)
D.
MANIFESTASI
KLINIS
a. Nyeri hebat
pada daerah fraktur dan nyeri bertambah bila ditekan/diraba.
b. Tidak mampu
menggerakkan lengan/tangan.
c. Spasme otot.
d. Perubahan
bentuk/posisi berlebihan bila dibandingkan pada keadaan normal.
e. Ada/tidak
adanya luka pada daerah fraktur.
f. Kehilangan
sensasi pada daerah distal karena terjadi jepitan syarat oleh fragmen tulang.
g. Krepitasi
jika digerakkan.
h. Perdarahan.
i.
Hematoma.
j.
Syok
k. Keterbatasan
mobilisasi.
E.
KOMPLIKASI
Bisa
berakibat fatal dalam beberapa jam setelah cedera.
b. Sindroma
kompartemen
Masalah yang
terjadi saat perfusi jaringan dalam otot kurang dari yang dibutuhkan untuk
kehidupan jaringan.
c. Tromboemboli
d. Infeksi.
F.
PEMERIKSAAN
PENUNJANG
a. Foto rontgen
pada daerah yang dicurigai fraktur.
b. Pemeriksaan
lainnya yang juga merupakan persiapan operasi antara lain :
Darah
lengkap, Golongan darah, Masa
pembekuan dan perdarahan, EKG, Kimia darah.
G.
PENATALAKSANAAN
a. Medis
Ada beberapa
prinsip dasar yang harus dipertimbangkan pada saat menangani fraktur :
a) Rekognisi
Pengenalan
riwayat kecelakaan, patah atau tidak, menentukan perkiraan yang patah,
kebutuhan pemeriksaan yang spesifik, kelainan bentuk tulang dan
ketidakstabilan, tindakan apa yang harus cepat dilakukan misalnya pemasangan
bidai.
b) Reduksi
Usaha dan
tindakan untuk memanipulasi fragmen tulang yang patah sedapat mungkin kembali
seperti letak asalnya. Cara penanganan secara reduksi : Pemasangan gips Untuk
mempertahankan posisi fragmen tulang yang fraktur. Reduksi tertutup (closed
reduction external fixation) Menggunakan gips sebagai fiksasi eksternal untuk
memper-tahankan posisi tulang dengan alat-alat : skrup, plate, pen, kawat, paku
yang dipasang di sisi maupun di dalam tulang. Alat ini diangkut kembali setelah
1-12 bulan dengan pembedahan.
c) Debridemen
Untuk
mempertahankan/memperbaiki keadaan jaringan lunak sekitar fraktur pada keadaan
luka sangat parah dan tidak beraturan.
d) Rehabilitasi
Memulihkan
kembali fragmen-fragmen tulang yang patah untuk mengembalikan fungsi normal.
e) Perlu
dilakukan mobilisasi Kemandirian bertahap.
b. Keperawatan
Tindakan
yang harus diperhatikan agar ektremitas dapat berfungsi sebaik-baiknya maka
penanganan pada trauma ektremitas meliputi 4 hal (4 R) yaitu :
a)
Recognition
Untuk dapat
bertindak dengan baik, maka pada trauma ektremitas perlu diketahui kelainan
yang terjadi akibat cedernya. Baik jaringan lunak maupun tulangnya dengan cara
mengenali tanda-tanda dan gangguan fungsi jaringan yang mengalami cedera. Fraktur
merupakan akibat dari sebuah kekerasan yang dapat menimbulkan kerusakan
pada tulang ataupun jaringan lunak sekitarnya. Dibedakan antara trauma tumpul
dan tajam. Pada umumnya trauma tumpul akan memberikan kememaran yang “diffuse”
pada jaringan lunak termasuk gangguan neurovaskuler yang akan menentukan
ektremitas.
b)
Reduction
Tindakan
mengembalikan ke posisi semula, tindakan ini diperlukan agar sebaik mungkin
kembali ke bentuk semula agar dapat berfungsi kembali sebaik mungkin .
Penyembuhan memerlukan waktu dan untuk mempertahankan hasil reposisi (retaining)
penting dipikirkan tindakan berikutnya agar rehabilitasi dapat memberikan hasil
sebaik mungkin.
c)
Retaining
Tindakan
imobilisasi untuk memberi istirahat pada anggota gerak yang sehat mendapatkan
kesembuhan. Imobilisasi yang tidak adequat dapat memberikan dampak pada
penyembuhan dan rehabilitasi.
d)
Rehabillitasi
Mengembalikan
kemampuan dari anggota/alat yang sakit/cedera agar dapat berfungsi kembali.
Falsafah lama mengenai rehabilitasi ialah suatu tindakan setelah kuratif dan
hanya mengatasi kendala akibat sequaele atau kecacatan; padahal untuk
mengembalikan fungsi sebaiknya rehabilitasi, yang menekankan pada fungsi, akan
lebih berhasil bila dapat dilaksanakan secara dini, mencegah timbulnya
kecacatan.
Dislokasi
sendi perlu dilakukan reposisi segera karena akibat dari penundaan akan dapat
menimbulkan keadaan avaskuler nekrosis dari bonggol tulang yang menyebabkan
nyeri pada persendian serta kekakuan sendi. Dalam fase shock lokal (antara 5-20
menit) dimana terjadi relaksasi dari otot sekitar sendi dan rasa baal
(hypestesia) reposisi dapat dilakukan tanpa narkose, lewat dari fase shock
lokal diperlukan tindakan dengan pembiusan untuk mendapatkan relaksasi waktu
melakukan reposisi. Apabila tidak berhasil maka perlu dipikirkan terjadi
“button hole ruptur” dari kapsul (simpai) sendi yang dapat “’mencekik”
sirkulasi perdarahan daerah bonggol sendi, hal ini memerlukan tindakan reposisi
terbuka. Untuk mendapatkan lingkup gerak sendi yang baik, maka selama dilakukan
imobilisasi diberikan latihan isometrik kontraksi otot guna mencegah”disuse
Athrophy”.
H.
DIAGNOSA KEPERAWATAN
a. Pre-Operasi
a) Nyeri b.d
spasme otot, kerusakan akibat fraktur.
b) Ketidakmampuan
beraktivitas b.d fraktur dan cidera jaringan sekitar.
c) Resiko
tinggi terjadi infeksi b.d fraktur terbuka kerusakan jaringan lunak.
d) Gangguan
pola tidur b.d nyeri.
b. Post Operasi
a) Nyeri b.d
luka operasi.
b) Risiko
tinggi terjadi komplikasi post operasi b.d immobilisasi.
c) Ketidakmampuan
beraktivitas b.d pemasangan gips dan fiksasi.
d) Risiko
tinggi terjadi infeksi b.d luka post operasi.
e) Kurang
pengetahuan klien tentang perubahan tingkat aktivitas yang boleh dilakukan dan
perawatannya saat di rumah.
f) Gangguan
harga diri b.d perubahan peran dan perubahan bentuk fisik atau tubuh.
I. TUJUAN DAN INTERVENSI KEPERAWATAN
a. Pre-Operasi
a) Nyeri b.d
spasme otot, kerusakan akibat fraktur.
1. Nyeri
berkurang atau terkontrol
2. Klien
mengatakan nyeri berkurang.
3. Ekspresi wajah
tenang.
Rencana Tindakan :
1. Observasi
tanda-tanda vital (TD, S, N, P)
2. Kaji keluhan
nyeri klien : lokasi, intensitas, karakteristik.
3. Beri posisi
yang nyaman sesuai anatomi tubuh manusia.
4. Ajarkan
teknik relaksasi nafas dalam.
5. Pertahankan
imobilisasi bagian yang sakit dengan tirah baring, gips.
6. Beri therapi
analgetik sesuai program medik.
b)
Ketidakmampuan beraktivitas b.d
fraktur dan cidera jaringan sekitar.
1. Kebutuhan
hygiene, nutrisi dan eliminasi.
2. Klien dapat
melakukan aktivitas secara bertahap sesuai kemampuan klien dan sesuai program
medik.
Rencana Tindakan :
1. Kaji tingkat
kemampuan beraktivitas klien.
2. Observasi
tanda-tanda vital (TD, S, N, P)
3. Bantu klien
dalam pemenuhan kebutuhan yang tidak dapat dilakukan sendiri.
4. Dekatkan
alat-alat yang dibutuhkan.
5. Libatkan
keluarga dalam membantu pemenuhan kebutuhan klien.
c)
Resiko tinggi terjadi infeksi b.d
fraktur terbuka kerusakan jaringan lunak.
1. Infeksi
tidak terjadi
2. Tidak ada
kemerahan, pus, peradangan
3. Leukosit
dalam batas normal
4. Tanda-tanda
vital stabil.
Rencana Tindakan :
1. Observasi
tanda-tanda vital (S, TD, N, P)
2. Jaga daerah
luka tetap bersih dan kering.
3. Tutup daerah
luka dengan kasa steril.
4. Rawat luka
fraktur dengan teknik aseptik.
5. Beri therapi
antibiotik sesuai program medik.
b. Post-Operasi
a) Nyeri b.d
luka operasi
1. Nyeri
berkurang sampai dengan hilang.
2. Ekspresi
wajah tenang.
Rencana Tindakan :
1. Observasi
tanda-tanda vital (TD, S, N, P)
2. Kaji
keluhan, lokasi, intensitas dan karakteristik nyeri.
3. Ajarkan
tehnik relaksasi nafas dalam.
4. Beri posisi
yang nyaman pada tulang yang fraktur sesuai anatomi.
5. Anjurkan
klien untuk imobilisasi bagian yang sakit dengan tirah baring.
6. Beri therapi
analgetik sesuai program medik.
b) Ketidakmampuan
beraktivitas b.d pemasangan gips atau fiksasi.
1. Kebutuhan
hygiene, nutrisi, dan eliminasi terpenuhi.
2. Klien dapat
melakukan aktivitas secara bertahap sesuai kemampuan klien dan sesuai program
medik.
Rencana Tindakan :
1. Observasi
tanda-tanda vital (S, N, TD, P)
2. Kaji tingkat
kemampuan klien dalam beraktivitas secara mandiri.
3. Bantu klien
dalam pemenuhan kebutuhan hygiene nutrisi, eliminasi yang tidak dapat dilakukan
sendiri.
4. Dekatkan
alat-alat dan bel yang dibutuhkan klien.
5. Libatkan
keluarga dalam membantu pemenuhan kebutuhan klien.
6. Anjurkan dan
bantu klien untuk mobilisasi fisik secara bertahap sesuai kemampuan klien dan
sesuai program medik.
c)
Resiko tinggi terjadi komplikasi
post operasi b.d immobilisasi.
Komplikasi
setelah operasi tidak terjadi.
Rencana Tindakan :
1. Kaji keluhan
klien
2. Observasi
tanda-tanda vital (TD, N)
3. Anjurkan
klien mobilisasi secara bertahap
4. Kolaborasi
dengan dokter.
d)
Resiko tinggi terjadi infeksi b.d
luka post operasi.
·
Infeksi post operasi tidak terjadi.
·
Klien tidak mengalami infeksi tulang.
Rencana Tindakan :
1. Observasi
tanda-tanda vital (TD, N, S, P)
2. Rawat luka operasi
dengan tehnik aseptik.
3. Tutup daerah
luka dengan kasa steril.
4. Jaga daerah
luka tetap bersih dan kering.
5. Beri terapi
antibiotik sesuai program medik.
e) Kurang
pengetahuan tentang perubahan tingkat aktivitas yang boleh dilakukan dan
perawatan di rumah b.d kurang informasi.
Klien dapat
mengetahui aktivitas yang boleh dilakukan dan perawatan saat di rumah.
Rencana Tindakan :
1. Kaji tingkat
pengetahuan klien tentang penatalaksanaan perawatan di rumah.
2. Ajarkan dan
anjurkan klien untuk melakukan latihan pasif dan aktif secara teratur.
3. Berikan
kesempatan pada klien untuk dapat bertanya.
4. Anjurkan
klien untuk mentaati terapi dan kontrol tepat waktu.
5. anjurkan
klien untuk tidak mengangkat beban berat pada tangan yang fraktur.
DAFTAR PUSTAKA
Brunner and Suddarth (2002). Buku Ajar
Keperawatan Medikal Bedah. Edisi 8 volume 3, Jakarta. Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
Black, Joyce M (1997). Medical Surgical Nursing, Clinical Management
for Continuity of Care. 5th edition,
3rd volume. Philadelphia. W.B Saunders Company.
Carpenito, Lynda Jual (1997). Diagnosa
Keperawatan Aplikasi pada Praktek Klinis. Edisi keenam, Jakarta.
Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Doengoes, Marilynn. E (2000). Rencana Asuhan
Keperawatan : Pedoman untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien.
Edisi 3, Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Evelyn. C. Pearce (1999). Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis.
Cetakan ke-22, Jakarta. Penerbit PT. Gramedia Pustaka Umum.
Price, Sylvia. A (1995). Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-proses
Penyakit. Edisi 4 buku 2. Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran EGC.
terimakasih banyak, sangat menarik sekali...
BalasHapus