LAPORAN
PENDAHULUAN
INFEKSI
SALURAN KEMIH
A.
Pengertian
Infeksi saluran kemih adalah
ditemukannya bakteri pada urine di kandung kemih yang umumnya steril. (Arif
mansjoer, 2001) Infeksi Saluran Kemih (ISK) adalah infeksi yang terjadi
sepanjang saluran kemih, terutama masuk ginjal itu sendiri akibat proliferasi
suatu organisme (Corwin, 2001 : 480) Infeksi Saluran Kemih (ISK) atau Urinarius
Tractus Infection (UTI) adalah suatu keadaan adanya invasi mikroorganisme pada
saluran kemih. (Agus Tessy, 2001) Infeksi Saluran Kemih (ISK) adalah suatu
tanda umum yang ditunjukkan pada manifestasi bakteri pada saluran kemih
(Engram, 1998 : 121). Infeksi Saluran Kemih (ISK) adalah berkembangnya
mikroorganisme di dalam saluran kemih yang dalam keadaan normal tidak mengandung
bakteri, virus/mikroorganisme lain.
B.
Klasifikasi
Klasifikasi infeksi saluran kemih
sebagai berikut :
a. Kandung kemih (sistitis)
b. Uretra (uretritis)
c. Prostat (prostatitis)
d. Ginjal (pielonefritis)
C.
Etiologi
Jenis-jenis mikroorganisme yang
menyebabkan ISK, antara lain:
a. Pseudomonas, Proteus, Klebsiella
b. Escherichia Coli
c. Enterobacter, staphylococcus
epidemidis, enterococci, dan-lain-lain.
Pada umumnya faktor-faktor resiko
yang berhubungan dengan perkembangan infeksi saluran kemih adalah :
a. Wanita cenderung mudah terserang
dibandingkan dengan laki-laki.
b. Faktor-faktor postulasi dari tingkat
infeksi yang tinggi terdiri dari urethra dekat kepada rektum dan kurang
proteksi sekresi prostat dibandingkan dengan pria.
c. Abnormalitas Struktural dan Fungsional
d. Mekanisme yang berhubungan termasuk
stasis urine yang merupakan media untuk kultur bakteri, refluks urine yang
infeksi lebih tinggi pada saluran kemih dan peningkatan tekanan hidrostatik Contoh
: strikur,anomali ketidak sempurnaan hubungan uretero vesicalis
e. Obstruksi Contoh : Tumor, Hipertofi prostat
f. Gangguan inervasi kandung kemih Contoh : Malformasi sum-sum tulang belakang
kongenital, multiple sklerosis
g. Penyakit kronis Contoh : Gout, DM,
hipertensi
h. Instrumentasi Contoh : prosedur
kateterisasi
D. Patofisiologi
Masuknya mikroorganisme ke dalam
saluran kemih dapat melalui:
a. Penyebaran endogen yaitu kontak
langsung dari tempat terdekat saluran kemih yang terinfeksi.
b. Hematogen yaitu penyebaran
mikroorganisme patogen yang masuk melalui darah yang terdapat kuman penyebab
infeksi saluran kemih yang masuk melalui darah dari suplay jantung ke ginjal.
c. Limfogen yaitu kuman masuk melalui
kelenjar getah bening yang disalurkan melalui helium ginjal.
d. Eksogen sebagai akibat pemakaian
alat berupa kateter atau sistoskopi.
Dua jalur utama terjadi infeksi saluran kemih ialah hematogen dan ascending. Tetapi dari kedua cara ini, ascending-lah yang paling sering terjadi. Infeksi hematogen kebanyakan terjadi pada pasien dengan daya tahan tubuh yang rendah karena menderita suatu penyakit kronik atau pada pasien yang sementara mendapat pengobatan imun supresif. Penyebaran hematogen bisa juga timbul akibat adanya infeksi di salah satu tempat misalnya infeksi S.Aureus pada ginjal bisa terjadi akibat penyebaran hematogen dari fokus infeksi dari tulang, kulit, endotel atau di tempat lain. Infeksi ascending yaitu masuknya mikroorganisme dari uretra ke kandung kemih dan menyebabkan infeksi pada saluran kemih bawah. Infeksi ascending juga bisa terjadi oleh adanya refluks vesico ureter yang mana mikroorganisme yang melalui ureter naik ke ginjal untuk menyebabkan infeksi. Infeksi tractus urinarius terutama berasal dari mikroorganisme pada faeces yang naik dari perineum ke uretra dan kandung kemih serta menempel pada permukaan mukosa. Agar infeksi dapat terjadi, bakteri harus mencapai kandung kemih, melekat pada dan mengkolonisasi epitelium traktus urinarius untuk menghindari pembilasan melalui berkemih, mekanisme pertahan penjamu dan cetusan inflamasi.
Dua jalur utama terjadi infeksi saluran kemih ialah hematogen dan ascending. Tetapi dari kedua cara ini, ascending-lah yang paling sering terjadi. Infeksi hematogen kebanyakan terjadi pada pasien dengan daya tahan tubuh yang rendah karena menderita suatu penyakit kronik atau pada pasien yang sementara mendapat pengobatan imun supresif. Penyebaran hematogen bisa juga timbul akibat adanya infeksi di salah satu tempat misalnya infeksi S.Aureus pada ginjal bisa terjadi akibat penyebaran hematogen dari fokus infeksi dari tulang, kulit, endotel atau di tempat lain. Infeksi ascending yaitu masuknya mikroorganisme dari uretra ke kandung kemih dan menyebabkan infeksi pada saluran kemih bawah. Infeksi ascending juga bisa terjadi oleh adanya refluks vesico ureter yang mana mikroorganisme yang melalui ureter naik ke ginjal untuk menyebabkan infeksi. Infeksi tractus urinarius terutama berasal dari mikroorganisme pada faeces yang naik dari perineum ke uretra dan kandung kemih serta menempel pada permukaan mukosa. Agar infeksi dapat terjadi, bakteri harus mencapai kandung kemih, melekat pada dan mengkolonisasi epitelium traktus urinarius untuk menghindari pembilasan melalui berkemih, mekanisme pertahan penjamu dan cetusan inflamasi.
E.
Manifestasi Klinik
Tanda dan gejala ISK pada bagian
bawah adalah :
a. Nyeri yang sering dan rasa panas
ketika berkemih
b. Spasame pada area kandung kemih dan
suprapubis
c. Hematuria
d. Nyeri punggung dapat terjadi
e. Tanda dan gejala ISK bagian atas
adalah :
f. Demam
g. Menggigil
h. Nyeri panggul dan pinggang
i.
Nyeri ketika berkemih
j.
Malaise
k. Pusing
l.
Mual dan muntah
F.
Komplikasi
a. Gagal ginjal akut
b. Ensefalopati hipertensif
c. Gagal jantung, edema paru,
retinopati hipertensif
G.
Pemeriksaan Diagnostik
a. Urinalisis
1. Leukosuria atau piuria: merupakan
salah satu petunjuk penting adanya ISK. Leukosuria positif bila terdapat lebih
dari 5 leukosit/lapang pandang besar (LPB) sediment air kemih
2. Hematuria: hematuria positif bila
terdapat 5-10 eritrosit/LPB sediment air kemih. Hematuria disebabkan oleh
berbagai keadaan patologis baik berupa kerusakan glomerulus ataupun
urolitiasis.
b. Bakteriologis
1. Mikroskopis
2. Biakan bakteri
c. Kultur urine untuk mengidentifikasi
adanya organisme spesifik
d. Hitung koloni: hitung koloni sekitar
100.000 koloni per milliliter urin dari urin tampung aliran tengah atau dari
specimen dalam kateter dianggap sebagai criteria utama adanya infeksi.
e. Metode tes
1. Tes dipstick multistrip untuk WBC
(tes esterase lekosit) dan nitrit (tes Griess untuk pengurangan nitrat). Tes
esterase lekosit positif: maka pasien mengalami piuria. Tes pengurangan nitrat,
Griess positif jika terdapat bakteri yang mengurangi nitrat urin normal menjadi
nitrit.
2. Tes Penyakit Menular Seksual (PMS)
Uretritia akut akibat organisme menular secara seksual
(misal, klamidia trakomatis, neisseria gonorrhoeae, herpes simplek).
3. Tes-tes tambahan :
Urogram intravena (IVU), Pielografi (IVP), msistografi, dan
ultrasonografi juga dapat dilakukan untuk menentukan apakah infeksi akibat dari
abnormalitas traktus urinarius, adanya batu, massa renal atau abses,
hodronerosis atau hiperplasie prostate. Urogram IV atau evaluasi ultrasonic,
sistoskopi dan prosedur urodinamik dapat dilakukan untuk mengidentifikasi
penyebab kambuhnya infeksi yang resisten.
H.
Pencegahan
a. Jaga kebersihan
b. Sering ganti celana dalam
c. Banyak minum air putih
d. Tidak sering menahan kencing
e. Setia pada satu pasangan dalam
melakukan hubungan
I.
Penatalaksanaan
Tatalaksana umum : atasi demam, muntah, dehidrasi dan
lain-lain. Pasien dilanjutkan banyak minum dan jangan membiasakan menahan
kencing untuk mengatasi disuria dapat diberikan fenazopiridin (pyriduin) 7-10
mg/kg BB hari. Faktor predisposisi dicari dan dihilangkan. Tatalaksana khusus
ditujukan terhadap 3 hal, yaitu pengobatan infeksi akut, pengobatan dan
pencegahan infeksi berulang serta deteksi dan koreksi bedah terhadap kelamin
anatamis saluran kemih.
a. Pengobatan infeksi akut : pada
keadaan berat/demam tinggi dan keadaan umum lemah segera berikan antibiotik
tanpa menunggu hasil biakan urin dan uji resistensi kuman. Obat pilihan pertama
adalah ampisilin, katrimoksazol, sulfisoksazol asam nalidiksat, nitrofurantoin
dan sefaleksin. Sebagai pilihan kedua adalah aminoshikosida (gentamisin,
amikasin, dan lain-lain), sefatoksin, karbenisilin, doksisiklin dan lain-lain,
Tx diberikan selama 7 hari.
b. Pengobatan dan penegahan infeksi
berulang : 30-50% akan mengalami infeksi berulang dan sekitar 50% diantaranya
tanpa gejala. Maka, perlu dilakukan biakan ulang pada minggu pertama sesudah
selesai pengobatan fase akut, kemudian 1 bulan, 3 bulan dan seterusnya setiap 3
bulan selama 2 tahun. Setiap infeksi berulang harus diobati seperti pengobatan
ada fase akut. Bila relaps/infeksi terjadi lebih dari 2 kali, pengobatan
dilanjutkan dengan terapi profiloksis menggunakan obat antiseptis saluran kemih
yaitu nitrofurantorin, kotrimoksazol, sefaleksi atau asam mandelamin. Umumnya
diberikan ¼ dosis normal, satu kali sehari pada malam hari selama 3 bulan. Bisa
ISK disertai dengan kalainan anatomis, pemberian obat disesuaikan dengan hasil
uji resistensi dan Tx profilaksis dilanjutkan selama 6 bulan, bila perlu sampai
2 tahun.
c. Koreksi bedah : bila pada
pemeriksaan radiologis ditemukan obstruksi, perlu dilakukan koreksi bedah.
Penanganan terhadap refluks tergantung dari stadium. Refluks stadium I sampai
III bisanya akan menghilang dengan pengobatan terhadap infeksi pada stadium IV
dan V perlu dilakukan koreksi bedah dengan reimplantasi ureter pada kandung
kemih (ureteruneosistostomi). Pada pionefrosis atau pielonefritis atsopik
kronik, nefrektami kadang-kadang perlu dilakukan
J.
Prognosis
Walaupun tanpa perawatan antibiotik,
penyakit cenderung menjadi jinak dan berhenti sendiri. Fase simptomatik
penyakit biasanya berlangsung tidak lebih dari seminggu, walaupun bakteriuria
dapat bertahan lebih lama. Pada kasus yang terkait factor fredisposisi, maka
penyakit ini dapat kambuh atau kronis.
K.
konsep keperawatan
a.
Pengkajian
1. Pemerikasaan fisik: dilakukan secara
head to toe
2. Riwayat atau adanya faktor-faktor
resiko:
a) Adakah riwayat infeksi sebelumnya?
b) Adakah riwayat obstruksi pada
saluran kemih?
c) Adanya faktor predisposisi pasien
terhadap infeksi nosokomial
d) Bagaimana dengan pemasangan folley
kateter ?
e) Imobilisasi dalam waktu yang lama ?
f) Apakah terjadi inkontinensia urine?
3. Pengkajian dari manifestasi klinik
infeksi saluran kemih
a) Bagaimana pola berkemih pasien?
untuk mendeteksi factor predisposisi terjadinya ISK pasien (dorongan,
frekuensi, dan jumlah)
b) Adakah disuria?
c) Adakah urgensi?
d) Adakah hesitancy?
e) Adakah bau urine yang menyengat?
f) Bagaimana haluaran volume orine,
warna (keabu-abuan) dan konsentrasi urine?
g) Adakah nyeri-biasanya suprapubik
pada infeksi saluran kemih bagian bawah ?
h) Adakah nyesi pangggul atau
pinggang-biasanya pada infeksi saluran kemih bagian atas ?
i)
Peningkatan suhu tubuh biasanya pada infeksi saluran kemih
bagian atas.
4. Pengkajian psikologi pasien:
a) Bagaimana perasaan pasien terhadap
hasil tindakan dan pengobatan yang telah dilakukan?
b) Adakakan perasaan malu atau takut
kekambuhan terhadap penyakitnya
L.
Diagnosa Keperawatan
a. Nyeri berhubungan dengan inflamasi
dan infeksi urethra, kandung kemih dan struktur traktus urinarius lainnya
b. Perubahan pola eliminasi
urine berhubungan dengan sering berkemih, urgency dan hesistancy
c. Gangguan pola tidur berhubungan
dengan nyeri dan nokturia
d. Peningkatan suhu tubuh berhubungan
dengan reaksi inflamasi
e. Nutrisi kurang dari kebutuhan
berhubungan dengan anoreksia
f. Resiko kekurangan volume cairan
berhubungan dengan evaporasi berlebihan dan muntah
g. Ansietas berhubungan dengan krisis
situasi, mekanisme coping tidak efektif
h. Kurangnya pengetahuan tentang
kondisi, prognosis, dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan kurangnya
sumber informasi.
M.
Intevensi Keperawatan
a. Nyeri berhubungan dengan inflamasi
dan infeksi uretra, kandung kemih dan sruktur traktus urinarius lain
Tujuan : Nyeri hilang
dengan spasme terkontrol
KH : Nyeri menghilang ditandai dengan klien melaporkan
tidak nyeri waktu berkemih, tidak nyeri pada daerah suprapubik
Intervensi :
1. Pantau perubahan warna urin, pantau
pola berkemih, masukan dan keluaran setiap 8 jam dan pantau hasil urinalisis
ulang
2. Catat lokasi, lamanya intensitas
skala (1-10) nyeri
3. Berikan tindakan nyaman, seperti
pijatan.
4. Jika dipasang kateter, perawatan
kateter 2 kali per hari.
5. Alihkan perhatian pada hal yang
menyenangkan
6. Kolaborasi pemberian analgetik
b. Perubahan pola eliminasi urine
berhubungan dengan sering berkemih, urgensi dan hesitancy
Tujuan : Pola eliminasi
urine membaik
KH :
Pola eliminasi urine membaik ditandai dengan klien melaporkan berkurangnya
frekuensi ( sering berkemih) urgensi
dan hesistensi.
Intervensi :
1. Kaji pola eliminasi klien
2. Rasional: sebagai dasar
dalammenentukan intervensi selanjutnya
3. Dorong pasien untuk minum sebanyak
mungkin dan mengurangi minum pada sore hari
4. Dorong pasien untuk berkemih tiap
2-3 jam dan bila tiba- tiba dirasakan.
5. Siapkan / dorongan dilakukan
perawatan perineal setiap hari.
c. Gangguan pola tidur berhubungan
dengan nyeri dan nokturia
Tujuan : Pola tidur
membaik
KH
: Pola tidur membaik ditandai dengan klien melaporkan dapat tidur, klien nampak
segar
Intervensi :
1. Tentukan kebiasaan tidur biasanya
dan perubahan yang terjadi
2. Berikan tempat tidur yang nyaman
3. Tingkatkan regimen kenyamanan waktu
tidur misalnya, mandi hangat dan masase,segelas susu hangat
4. Kurangi kebisingan dan lampu
5. Instruksikan tindakan relaksasi
6. Kolaborasi pemberian obat
a) Analgetik
b) Sedatif
d. Peningkatan suhu tubuh berhubungan
dengan reaksi iflamasi
Tujuan : Suhu tubuh
kembali normal
KH
:Suhu tubuh kembali normal ditandai dengan klien melaporkan tidak demam, tidak
terba panas, TTV dalam batas normal
Intervensi :
1. Kaji adanya
keluhan atau tanda-tanda perubahan peningkatan suhu tubuh
2. Observasi
TTV terutama suhu tubuh sesuai indikasi
3. Kompres air
hangat pada dahi dan kedua aksilla
4. Kolaborasi
pemberian obat-obatan antipiretik
e. Nutrisi kurang dari kebutuhan
berhubungan dengan anoreksia
Tujuan : Tidak terjadi perubahan
nutrisi kurang dari kebutuhan
KH : Kebutuhan nutrisi adekuat
ditandai dengan peningkatan berat badan, menunjukkan peningkatan selera makan, klien
menghabiskan porsi makanan yang diberikan.
Intervensi :
1. Kaji intake
makanan klien
2. Dorong tirah
baring/atau pembatasan aktivitas
3. Berikan
kebersihan oral
4. Sediakan
makanan dalam ventilasi yang baik, lingkungan menyenangkan, dengan situasi
tidak terburu-buru, temani
5. kolaborasi
pemberian obat-obatan antiemetik
f. Resiko kekurangan volume cairan
berhubungan dengan peningkatan evaporasi dan muntah
Tujuan
:Cairan tubuh tetap seimbang
KH
:Mempertahankan volume cairan yang adekuat dibuktikan oleh membran mukosa
lembab,turgor kulit bagus, keseimbangan intake dan haluaran dengan urine normal
dalam konsentrasi jumlah.
Intervensi
:
1. Awasi masukan
dan haluaran cairan. Perkirakan kehilangan cairan melalui keringat
2. Anjurkan unruk
mempertahankan intake peroral
3.
Observasi penurunan turgor kulit
4.
Kolaborasi
a) Berikan cairan
parenteral jika diperlukan
b) Berikan obat antiemetik
c) Berikan obat
antipeuretik
g. Ansietas berhubungan dengan koping
individu tidak efektif, kurang pengetahuan tentang penyakitnya
Tujuan :Ansietas
berkurang atau hilang
KH
:Tampak rileks dan melaporkan ansietas berkurang pada tingkat yang dapat
diatasi.
Intervensi
:
1. Kaji tingkat ansietas. Bantu pasien
mengidentifikasi keterampilan koping yang telah dilakukan dengan berhasil pada
masa lalu.
2. Dorong menyatakan perasaan. Berikan
umpan balik
3. Beri informasi yang akurat dan nyata
tentang apa tindakan yang dilakukan
4. Berikan lingkungan tenang dan
istirahat
5. Dorong
pasien/orang terdekat untuk menyatakan perhatian, perilaku perhatian
6. Beri dorongan
spiritual
7. Berikan
informasi tentang proses penyakit dan antisipasi tindakan
8. Kolaborasi
pemberian obat sedatif
DAFTAR PUSTAKA
Doenges, Marilyn E. (1999). Rencana Asuhan Keperawatan:
pedoman untuk perencanaan dan pendokumentasian perawatan pasien. Alih Bahasa: I
Made Kariasa, Ni made Sumarwati. Edisi: 3. Jakrta: EGC
Enggram, Barbara. (1998). Rencana Asuhan Keperawatan
Nugroho, Wahyudi. (2000). Keperawatan Gerontik. Edisi: 2. Jakarta: EGC.
Nugroho, Wahyudi. (2000). Keperawatan Gerontik. Edisi: 2. Jakarta: EGC.
Mansjoer, Arif. 2000. Kapita Selekta
Kedokteran Ed.3 Cet.1. Jakarta : Media Aesculapius
Price, Sylvia Andrson. (1995). Patofisiologi: konsep klinis
proses-proses penyakit: pathophysiologi clinical concept of disease processes.
Alih Bahasa: Peter Anugrah. Edisi: 4. Jakarta: EGC
Smeltzer, Suzanne C. (2001). Buku Ajar Keperawatan
Medikal-Bedah Brunner & Suddart. Alih Bhasa: Agung Waluyo. Edisi: 8.
Jakarta: EGC.
Tessy Agus, Ardaya, Suwanto. (2001). Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam: Infeksi Saluran Kemih. Edisi: 3. Jakarta: FKUI.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar